Thursday 20 June 2019
Winda Bestari
2001
PPID - morowalikab.go.id - Bungku - Habib Idrus atau yang lebih dikenal dengan Guru Tua merupakan tokoh pejuang dan tonggak islam di Indonesia Timur, khususnya Provinsi Sulawesi Tengah. Sepanjang hidupnya, ulama yang akrab disapa Guru Tua ini dikenal sebagai sosok ulama dan sastrawan yang cinta akan ilmu. Namun sebelum menginjakkan kaki di Indonesia, beliau ternyata menggalakkan perjuangan yang besar dalam melawan penjajah Inggris di tanah kelahirannya.
Guru Tua atau Habib Idrus mengawali perjalanannya ke Indonesia pertama kali saat berusia 17 tahun. Ayahnya, Habib salim membawanya berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur AI-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandungnya yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia.
Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib ldrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Setibanya di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Kemudian menikahi Syarifah Bahiyah dan dikaruniai tiga orang putra dan putri, yaitu Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan.
Sejak tahun 1839 M, Hadramaut berada dalam penjajahan lnggris. Beliau bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, merupakan tokoh agama dan wakil dari para ulama lain yang memprakarsai perjuangan kemerdekaan. mereka mengutuk penjajah dan sekutunya yang menyebabkan suasana kacau dan berkembang di Hadramaut, khususnya wilayah Arab sebelah Utara secara menyeluruh. Keduanya, sebagai orang pertama yang bersepakat untuk menyalakan api perlawanan terhadap penjajah dan sekutunya.
Mereka berpendapat bahwa berhubungan dengan negara-negara Arab yang merdeka dan dunia luar adalah sesuatu yang amat penting untuk mengubah keadaan di dalam negeri sekaligus memerdekakan negara secara total. Dengan mengemban tugas politik yang sangat berbahaya itu, maka Habib Idrus menyusun suatu rencana untuk tujuan menjelaskan keadaan negerinya kepada masyarakat Arab dan dunia secara keseluruhan dengan cara keluar melalui pelabuhan Aden lalu ke Yaman dan Mesir. Beliau menyadari risiko itu mengancam jiwanya, karena intelijen negara dan mata-mata pemerintahan Inggris terus memperhatikan gerak-geriknya terhadap langkah yang akan ditempuhnya akan tetapi perjalanan itu harus dilakukan.
Rencana dan segala perlengkapan yang telah disiapkan dengan tepat dan matang serta penuh kehati-hatian tersebut, hampir membuahkan hasil jika tidak dibocorkan rahasianya oleh pengkhianat yang mengambil kesempatan untuk keuntungan pribadi. Beliau ditangkap tiba-tiba setelah sampai di pelabuhan Aden, kemudian dokumen-dokumen yang ada padanya dirampas serta mendapat larangan dari pemerintahan Inggris untuk keluar dari pelabuhan Aden untuk tujuan ke Negeri Arab. Akan tetapi diizinkan untuk kembali ke Hadramaut atau pergi ke Asia Tenggara, maka beliau memutuskan untuk pergi ke Indonesia. Sedangkan sahabatnya, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah Assagaf memilih kembali ke Mekkah.
Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan, bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Habib Idrus. Ia pertama kali datang ke negeri ini pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi seperti yang telah disebutkan di atas.
Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negerinya, pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.
(Sumber: islamicfinder.org Rayyan Ladanu (10 Agustus 2014), Mengenang Kembali Alhabib Idrus Bin Salim Al-Djufri "Guru Tua".