Sunday 25 February 2018
kary marunduh
1801
Oleh: K4ry Marunduh
Merekonstruksi kembali posisi etnisitas dalam masyarakat yang multietnik, utamanya dalam proses kontestasi kekuasaan politik lokal merupakan upaya penting yang harus dilakukan. Hal ini didasarkan pada asumsi awal jika etnisitas akan selalu menjadi unsur penting dalam dinamika politik lokal, sehingga setiap kebijakan politik yang diambil berhubungan dengan politik lokal akan selalu diwarnai oleh politik etnisitas. Oleh karena itu, proses politik lokal dipastikan akan selalu diwarnai oleh politik etnisitas yang akan berimplikasi serius dalam tatanan politik lokal. Di mana politik lokal akan selalu dijadikan arena kontestasi kekuasaan para elit politik lokal, sehingga dapat dipastikan jika kontestasi kekuasaan tersebut akan kental dengan nuansa etnisitas.
Dalam konteks inilah, menegaskan jika terdapat ketidakpuasan dalam upaya penerapan pendekatan dalam studi etnisitas, baik primordialis, instrumentalis, konstruktifis, maupun upaya dalam merangkai ketiga pendekatan dalam triple perspective. Oleh karena itu, bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan, menawarkan pendekatan baru melalui divided perspective yang dapat digunakan dalam studi etnisitas, secara khusus untuk proses kontestasi kekuasaan yang di dalamnya melibatkan multiaktor dan multietnik. Pendekatan ini sebagai solusi untuk memberikan jawaban terhadap persoalan mendasar berhubungan dengan studi etnisitas secara umum, dan secara khusus berhubungan dengan proses kontestasi kekuasaan pada tingkatan politik lokal.
Kekuatan utama dalam divided perspective adalah penekanan utamanya diletakan pada perbedaan etnisitas berdasarkan etno-geografis atau etno-teritorial. Pada triple perspective sebelumnya dijelaskan jika elemen etno-geografis atau etno-teritorial ternyata kurang dijadikan rujukan. Padahal, realitas sosial menunjukkan dalam masyarakat multietnik perbedaan etnisitas berdasarkan letak geografis sangat menentukan.
Kontestasi kekuasaan dalam arena politik lokal menegaskan kembali jika sebaran penduduk berdasarkan etnisitas akan dijadikan basis suara bagi elit politik lokal. Realitas politik lokal menunjukkan jika elit politik lokal akan memelihara basis suaranya karena keikutsertaan elit politik lokal dipahami sebagai representasi dari etnisitas tertentu. Oleh karena itu, baik dalam proses pilkada maupun pileg ternyata memiliki benang merah antara keterpilihan elit politik lokal dengan etno-geografis atau etno-teritorial elit politik lokal tersebut dengan basis etnisitas. Dengan demikian, strategi utamanya adalah dengan menggunakan dominasi etnisitas dalam suatu daerah dengan memajukan calon dari etnisitas yang dominan tersebut untuk memastikan keterpilihan pasangan calon atau calon legislator.
Dalam konteks politik lokal menunjukkan temuan menarik jika etnisitas ternyata bukanlah merupakan entry ticket buat terjadinya konflik. Walaupun menekankan bahwa etnisitas sebagai sesuatu yang bersifat given terhadap individu maupun kelompok sosial. Etnisitas yang bersifat given tersebut berhasil menciptakan distingsi, akan tetapi tidak serta merta menciptakan konflik. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diyakini kalangan primordial yang sangat percaya jika faktor etnisitas merupakan faktor utama penyebab konflik. Selanjutnya, faktor etnisitas hanya berada dalam tatanan membelah masyarakat, bukan pada tatanan penyebab utama konflik. Pembelahan masyarakat berdasarkan perbedaan etnisitas tidak serta merta menciptakan konflik. Akan tetapi, konflik dapat terjadi pada tataran strategi yang diimplementasikan para elit politik lokal. Oleh karena itu, strategi elit politik lokal yang selalu menggunakan kekuatan etnisitas dalam kontestasi kekuasaan menjadi faktor penting apakah konflik itu terjadi atau tidak. Artinya, terjadinya konflik atau tidak, sangat ditentukan oleh kedewasaan elit politik lokal dalam mengaktualisasikan perbedaan etnisitas dalam tatanan strategi kontestasi kekuasaan.
Realitas sosial politik di atas, menjadi pembeda utama dengan apa yang terjadi di Kabupaten Poso dengan konflik di tahun 1998. Padahal, melihat struktur sosial masyarakat di Kabupaten Poso memiliki kesamaan dengan Kabupaten Morowali, sehingga asumsi yang menyebutkan bahwa konflik terjadi karena perbedaan etnisitas sesungguhnya tidaklah terbukti. Oleh karena itu, perbedaan etnisitas hanyalah berada pada tatanan untuk membagi atau membelah masyarakat (divided), tidak sampai menyebabkan konflik. Konflik merupakan hasil dari strategi yang dijalankan oleh elit politik lokal yang tidak memiliki kemampuan untuk memenangkan kontestasi kekuasaan.
Keyakinan kalangan instrumentalis bahwa etnisitas akan selalu dijadikan alat mobilisasi dan manipulasi oleh kaum elit, ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Dalam beberapa kasus politik lokal, menunjukkan bukan hanya kalangan elit saja yang memobilisasi dan memanipulasi etnisitas, ternyata masyarakat juga ikut terlibat dalam mobilisasi dan manipulasi etnisitas. Hal ini menegaskan bahwa mobilisasi dan manipulasi terhadap etnisitas yang dilakukan oleh masyarakat terlihat dalam pembelahan masyarakat berdasarkan etnisitas. Pengelompokkan etnisitas ini dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan posisi tawar politik yang sangat signifikan. Artinya, langkah ini merupakan strategi masyarakat untuk menekan kalangan elit politik agar ikut dalam posisi yang berbeda, sehingga kelompok masyarakat tersebut mendapat tempat yang signifikan dalam proses kontestasi kekuasaan. Dengan demikian, proses manipulasi dan mobilisasi terhadap etnisitas tetap saja dilakukan baik oleh kalangan elit maupun kalangan masyarakat itu sendiri.
Dalam kontestasi kekuasaan, kelompok masyarakat juga memiliki posisi tawar yang kuat terhadap setiap kandidat yang ikut dalam kontestasi. Tawaran kepada para kandidat untuk menandatangani kontrak politik merupakan bukti nyata bagaimana masyarakat mampu memposisikan dalam arena kontestasi kekuasaan. Kontrak politik ini seolah-olah menjadikan para kandidat tersandera dengan kepentingan dominan yang dimiliki oleh masyarakat. Dampaknya adalah para elit politik lokal akan ikut serta menandatangani kontrak politik tersebut walaupun secara logis itu sulit untuk diterima bahkan sulit untuk diimplementasikan.
Selanjutnya, etnisitas ternyata ikut dijadikan alat kreasi yang dikonstruksikan tidak saja oleh kaum elit politik tetapi juga dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Temuan menarik dalam dinamika politik lokal menjelaskan jika proses deklarasi atau rapat akbar dan kontrak politik yang dijadikan strategi politik yang dikreasikan dan dikonstruksikan berdasarkan perbedaan etnisitas dalam masyarakat. Keterlibatan elit politik dalam proses deklarasi atau rapat akbar dan kontrak politik kemudian dijadikan isu politik yang sangat mumpuni untuk mempengaruhi keberhasilan elit politik dalam proses kontestasi kekuasaan. Dengan demikian, elit politik akan lokal secara sadar atau tidak akan ikut terlibat secara aktif dalam kreasi dan konstruksi etnisitas yang dimainkan oleh masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, kreasi dan konstruksi etnisitas yang dimainkan oleh kalangan elit politik tidak serta merta berdampak positif bagi elit politik lokal dalam proses kontestasi kekuasaan politik.
Deklarasi atau rapat akbar terjadi sebagai upaya untuk memobilisasi kekuatan politik berdasarkan etnisitas. Deklarasi atau rapat akbar bermula dikreasikan oleh kalangan elit politik lokal dengan tujuan untuk mendapatkan insentif dari kegiatan tersebut. Elit politik lokal yang terlibat dalam proses deklarasi atau rapat akbar adalah mereka yang tereliminasi dalam proses politik maupun birokrasi pemerintahan serta mendapat dukungan dari kalangan pengusaha yang tidak mendapatkan proyek. Akumulasi kekecewaan ini kemudian direkayasa sebagai bentuk diskriminasi terhadap etnisitas tertentu serta upaya untuk menekan pengambil kebijakan agar mengikuti tuntutan mereka. Proses ini ternyata mendapat dukungan dari masyarakat sebagai akibat dari false consciousness yang dikreasikan oleh elit politik lokal.
Berdasarkan hal tersebut, maka ditawarkanlah pendekatan baru dalam studi etnisitas, yaitu: divided perspective. Cara pandang menggunakan pendekatan ini berangkat dari bangunan disposisi yang menegaskan jika etnisitas bukanlah sumber konflik tetapi hanya berada pada tatanan membelah atau membagi masyarakat berdasarkan perbedaan etnisitas. Politisasi terhadap etnisitas tidak hanya dilakukan oleh kalangan elit politik, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat pada tingkatan paling bawah sekalipun. Bangunan disposisi inilah yang tidak dapat terjawab secara kontekstual dalam ketiga pendekatan politik etnisitas yang telah ada.
Dalam kontestasi kekuasaan, Jika elit politik lokal yang memiliki perbedaan etnisitas ikut dalam kontestasi kekuasaan akan dengan mudah dijelaskan dengan menggunakan ketiga perspektif studi etnisitas yang telah ada. Akan tetapi, jika elit politik lokal memiliki kesamaan etnisitas akan sulit untuk digunakan perspektif studi etnisitas sebelumnya. Oleh karena itu, studi ini menawarkan pendekatan divided perspective dalam menjelaskan proses kontestasi kekuasaan yang melibatkan elit politik lokal yang memiliki kesamaan etnisitas.
Melalui divided perspective, kelompok elit politik lokal yang memiliki kesamaan etnisitas akan selalu menggunakan symbolic power dalam kontestasi kekuasaan. Symbolic power digunakan untuk membedakan siapa sesungguhnya elit politik lokal yang memiliki kekuatan secara simbolik dalam satu etnisitas. Secara tidak langsung, symbolic power digunakan untuk menyerang etnisitas dari elit politik lokal yang ikut serta dalam kontestasi kekuasaan, khususnya elit politik lokal yang memiliki kesamaan etnisitas. Istilah ini dipakai untuk memperjelas posisi elit politik lokal tersebut secara etnisitas, sehingga melalui pengakuan etnisitas ini dapat menjadikan elit politik lokal mampu eksis dalam kontestasi kekuasaan.
Di pihak lain, kalangan elit politik yang tidak memiliki kekuatan simbolik secara etnisitas akan menggunakan economic power. Kekuatan ekonomi ini digunakan untuk mengimbangi symbolic power dengan tujuan untuk memastikan jika elit politik lokal tersebut tetap eksis dalam proses kontestasi kekuasaan yang ada. Kekuatan ekonomi yang mumpuni ini biasanya dipergunakan oleh kalangan elit politik lokal yang bersifat out-actors dalam profesi pengusaha. Dapat juga kalangan elit politik lokal yang bersifar in-actors yang dibesarkan oleh pejabat politik dengan tujuan pengusaha tersebut akan memberikan dukungan secara finansial dalam proses kontestasi kekuasaan.
Divided perspective juga berpendapat jika proses kontestasi kekuasaan akan memposisikan etnisitas sebagai kekuatan yang mampu membelah atau membagi masyarakat dalam beberapa kubu. Terbaginya masyarakat berdasarkan etnisitas ini terjadi baik elit politik lokal yang memiliki perbedaan etnisitas maupun yang memiliki kesamaan secara etnisitas. Doxa yang dikembangkan dalam kontestasi kekuasaan bertujuan untuk membagi masyarakat dalam beberapa kubu berdasarkan perbedaan etnisitas adalah melalui istilah putra daerah, pendatang, pribumi, dan lain-lain. Doxa yang dikembangkan ini tidak hanya terjadi dalam kontestasi kekuasaan tetapi juga terjadi dalam penentuan pejabat dalam lingkup birokrasi pemerintahan daerah.
Stigmatisasi ini semakin menguat seiring dengan menguatnya tuntutan terhadap eksistensi kelompok etnis tertentu yang merasa memiliki hak terhadap daerah secara teritorial (etno-geografis). Dapat dipastikan doxa ini akan terus dipertahankan dalam proses kontestasi kekuasaan karena hal ini akan membelah atau membagi masyarakat. Secara politik, pembelahan atau pembagian masyarakat ini dapat dipastikan tetap dipelihara oleh kalangan elit politik lokal maupun oleh kalangan masyarakat. Dalam kontestasi kekuasaan, doxa ini menjadi kekuatan utamanya oleh masyarakat setempat dengan tujuan menekan kandidat lainnya yang berasal dari entitas di luar daerah tersebut.
Divided perspective memandang jika etnisitas akan selalu berhubungan erat dengan etno-geografis. Individu akan mengelompokkan komunitasnya dalam kedaerahan tertentu karena individu akan merasa lebih nyaman jika habitus-nya memiliki kesamaan entitas. Kesamaan tersebut misalnya: bahasa, warna kulit, bentuk fisik, dan kebiasaan-kebiasaan yang hanya dapat dilakukan jika individu berada dalam homogenitas. Oleh karena itu, dalam habitus kemasyarakatan akan dengan mudah ditemukan pengelompokkan geografis berdasarkan etnisitas atau penamaan daerah berdasarkan asal usul etnisitas. Pengelompokkan tersebut, misalnya: Kampung Jawa, Kampung Bugis, Kampung Ambon, Kampung Betawi, dan lain-lain. Pengelompokkan berdasarkan asal usul etnisitas ini akan menjadi sangat jelas eksistensinya jika dalam daerah tersebut terjadi proses kontestasi kekuasaan. Artinya, daerah tertentu akan memberikan dukungannya terhadap calon tertentu yang dapat dipastikan secara umum memiliki kedekatan secara etnisitas dengan daerah tersebut. Akan tetapi, divided perspective berpendapat jika pengelompokkan etnisitas secara teritorial atau kedaerahan ini adalah hal yang lumrah terjadi karena memang pada dasarnya individu akan cenderung mencari komunitas yang memiliki persamaan etnisitas.
Selanjutnya, bagian penting dari divided perspective adalah keberhasilan dalam melihat siapa saja yang memanfaatkan etnisitas dalam proses kontestasi kekuasaan. Ternyata, etnisitas dibutuhkan oleh semua kalangan, baik elit politik lokal in-actors maupun out-actors. Oleh karena itu, yang utama adalah strategi yang dikembangkan untuk memastikan kualitas etnisitas bagi kepentingan elit politik lokal. Dalam dinamika politik lokal, menunjukkan jika strategi elit politik lokal melalui penguasaan terhadap organisasi-organisasi dengan basis etnisitas, misalnya: kerukunan, paguyuban, lembaga adat, dan lain-lain.
Divided perspective menekankan pada realitas pembelahan atau pembagian masyarakat berdasarkan etnisitas, yang secara strategi politik dapat dikembangkan bagi terjadinya konflik. Pendekatan ini meyakini jika konflik dapat terjadi karena adanya ketimpangan relasi antaretnik. Dengan demikian, keadilan dalam relasi antaretnik harus menjadi keseriusan dalam implementasi arena politik lokal. Keadilan relasi antaretnik ini dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada pembagian peran-peran politik secara berkeadilan.
Stabilitas politik di daerah dapat terjaga dengan baik, dimana hal ini disebabkan karena setiap proses kontestasi kekuasaan akan melahirkan pejabat politik, dan setiap pejabat politik mengembangkan strategi keadilan dalam relasi antaretnik. Strategi ini dikembangkan baik dalam jabatan-jabatan politik, maupun dalam jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan daerah. Cara ini terlihat sangat efektif dalam menciptakan kestabilan politik lokal yang jauh dari kegaduhan karena setiap etnisitas merasa diperhatikan dan mendapat apresiai secara politik dalam dinamika politik lokal. Masuk atau keluarnya elit politik lokal dalam arena politik, khususnya birokrasi pemerintahan akan selalu mempertimbangkan perimbangan peran politik berdasarkan sentimen etnisitas. Dengan demikian, stabilitas atau kegaduhan politik sangat ditentukan oleh bagaimana situasi dan kondisi politik lokal dimainkan, apakah bertujuan untuk menciptakan perimbangan ataukah dominasi.