Tuesday 30 October 2018
iqbalmirza
7672
IQBAL MIRZA NAWAWI
Morowalikab.go.id -Bungku- PANCASILA sudah disepakti sebagai dasar yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia jauh hari sebelum reformasi bersemi. Setelah rezim Soeharto lengser pun, Pancasila masih kokoh dipertahankan di posisi semula. Oleh karenanya, terbukanya keran demokratisasi bukan berarti bak air yang mengalir ke selokan, terus-menerus mencari titik terendah, sampai kembali lagi ke dalam tanah atau ke sungai dan laut. Tetapi, justru harus berlabuh kembali kepada Pancasila yang setali tiga uang dengan UU Dasar 1945. Sehingga, demokratisasi bukanlah sebuah tujuan dan bukan pula roh yang menyetir Pancasila. Lihat saja, secara numerik bisa dibaca bahwa substansi demokrasi diletakkan oleh para Founding Fathers kita di nomor empat. Bahwa ada nilai yang lebih tinggi yang harus diraih setelah Indonesia menikmati demokrasi, yakni keadilan sosial. Jadi, sudah menjadi imperatif ideologis bagi bangsa Indonesia untuk berjuang tanpa lelah menjaga irama demokratisasi sampai ke titik konsolidasi sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila. Kemudian, jika irama demokrasi sudah relatif stabil, baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan menyempurnakannya (keadilan sosial). Dengan sederhana bisa diartikan bahwa dibutuhkan komitmen demokrasi yang tinggi, konsisten, dan berkelanjutan, untuk memperjuangkan berdiri tegaknya keadilan sosial dan bertumbuhkembangnya kesejahteraan masyarakat. Dengan lain perkataan, segala daya upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi sejatinya harus pula berbanding lurus dengan konsistensi dan sustainabilitas peningkatan kualitas keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia. Idealitas ideologis semacam itu tentu sekadar netral di atas kertas, namun cenderung distortif dan reduktif pada tataran teknis operasionalnya. Demokratisasi pastinya bukanlah sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil semata (procedural democracy) sebagaimana yang digagas oleh Joseph Shcumpeter puluhan tahun lalu dalam bukunya "Capitalism, Socialism, and Democracy" sering pula disebut sebagai scumpeterian democracy, misalnya. Demokrasi juga soal persamaan kesempatan beserta segala usaha untuk mendukung kesamaan kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan (pemberdayaan/empowerment). Artinya, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan main yang fair (fair play), tetapi juga harus diiringi dengan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity), harus ada proteksi untuk yang tak berdaya dan dukungan serta keberpihakan untuk yang lemah. Apalagi jika demokratisasi tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi, misalnya. Maka, pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia. Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta "invisible hand" ala Adam Smith. Nah, darwinisme ekonomi semacam itu pada gilirannya akan memperbesar ketimpangan ekonomi dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi. Arti lanjutannya, agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal semata. Walhasil, Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya. Padahal, Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan waktu itu. Pada akhirnya, Bung Hatta bisa mendamaikan keduanya cuma dengan satu pasal plus tiga ayat tersebut. Tentu spirit yang terkandung di dalamnya tidak hanya berkat andil besar dari moralitas dan intelektualitas ekonomi seorang Mohamad Hatta saja. Bahkan substansi dalam pasal tersebut ia serap dengan sangat brilian dari Tan Malaka sekira dua puluh tahunan sebelum UUD 1945 ada. Ketika Hatta masih menjadi seorang mahasiswa baru di Belanda, pada Juli 1922, ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono itulah, Hatta mendapatkan pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka terkait "komunisme", yang notabene berbeda jauh dari interpretasi versi Stalin. Dalam penjelasan Tan Malaka mengenai "diktatur proletariat" di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan Malaka terhadap interpretasi Stalin dan Uni Soviet, Hatta memperoleh kata-kata yang belakangan menjadi "keramat", yakni produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Ya, kata-kata yang belakangan menjadi penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap oleh Hatta dari Tan Malaka, meski secara redaksional ditampilkan dalam bahasa yang konstektual dan tidak tendensius. Nah, liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta tadi akan membuat kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun global. Namun celakanya, di sisi lain, penguasa (atau calon penguasa) justru kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangi kontestasi demokrasi yang semakin mahal. Yang membuat situasinya menjadi dilematis adalah di satu sisi kekuasaan politik terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, bahkan tak jarang malah berkurang, namun di sisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, multinational company, transnational company, dll) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut. Dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Jurnal Democratization, vol. 11, April 2004). Selanjutnya, di bawah agenda setting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal. Hampir pasti, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan. Sebagai pertanyaan penutup, mampukah kesaktian Pancasila mengatasi dilema demokrasi ekonomi semacam itu demi jalan lurus menuju sila kelima? Saya masih sangat ragu untuk mengatakan "ya" ataupun "tidak". Karena, pada dasarnya sejarah membuktikan bahwa political will pemenang kontestasi, dalam hal ini, jauh lebih sakti ketimbang Pancasila itu sendiri. Sampai hari ini, Pancasila memang tidak sempat dijadikan rumus kode buntut seperti yang dilirikkan Iwan Fals. Tetapi saat ditanya apakah Pancasila akan berbicara banyak untuk mengatasi permsalahan di atas, tampaknya Ebit G Ade lebih cocok untuk menjawabnya. "Silakan bertanya kepada rumput yang bergoyang."