Thursday 25 October 2018
kary marunduh
8962
“PELAKSANA HARIAN” DAN “PELAKSANA TUGAS”
Dalam undang-undang penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, terdapat istilah yang tidak asing, yaitu: Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh). Dalam prakeknya, istilah ini sering digunakan untuk mengisi kekosongan sementara dalam jabatan tertentu dan/atau jabatan yang berhubungan dengan jabatan struktural.
Pertanyaan besarnya adalah: pertama, apa pengertian atau maksud “Plt” dan “Plh”; dan apakah memiliki konsekwensi hukum terhadap kedua istilah tersebut.
Istilah Plt dan Plh dapat ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), Pasal 34 ayat (2). Rumusannya demikian: “Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan melaksanakan tugasnya, maka atasan pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksanan harian atau pelaksana tugas”. Fokuslah pada frase “berhalangan melaksanakan tugasnya”.
Selanjutnya, dalam Pasal 14 UUAP yang secara khusus mengatur tentang mandat, menyebutkan bahwa ada 2 (dua) kategori pejabat yang memperoleh mandate, yaitu: ditugaskan olah badan dan/atau pemerintahan di atasnya, atau merupakan pelaksanaan tugas rutin. Tugas rutin yang dimaksud adalah pelaksanaan tugas jabatan atas nama pemberi mandat yang bersifat pelaksanaan tugas jabatan dan tugas sehari-hari.
Dengan demikian, pejabat yang melaksanakan tugas rutin tersebut terdiri dari Pelaksana Harian (Plh) yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara, dan Pelaksana Tugas (Plh) yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. Masalahnya adalah pada situasi tertentu, terdapat kesulitan dalam memilah berhalangan sementara dengan berhalangan tetap.
Konsep Plh merujuk pada Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-3/V.5-10/99 tanggal 18 Januari 2002 tentang Prosedur Penunjukan Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian. Disebutkan dalam SK KBKN ini, jika ada pejabat yang tidak dapat menjalankan tugas sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja, maka untuk tetap menjamin kelancaran pelaksanaan tugas, Atasan Pejabat segera menunjuk Pelaksana Harian (Plh).
Konsep Pelaksana Tugas (Plt) selama ini merujuk pada Surat Keputusan (SK) Kepala BKN Nomor K.26-20/V.24.25/99 tanggal 10 Desember 2001 tentang tata cara pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelaksana Tugas. Konteksnya yang harus diperhatikan adalah jika tidak ada pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural. Berdasarkan peraturan yang ada, pengangkatan pejabat Plt telah diatur dalam Permendagri RI Nomor 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah.
PEMBATASAN
Jika seseorang telah diangkat sebagai Plt dan Plh, maka dia akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pejabat definitif. Masalahnya adalah: apakah semua tugas dan wewenang pejabat definitif bisa dijalankan oleh seorang Plt dan Plh?
Dalam Pasal 34 ayat (2) UUAP menegaskan bahwa Plt atau Plh ”melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Pasal ini sesungguhnya tidak memberikan pembatasan yang jelas.
Beruntunglah, BKN telah memberikan penjelasan mengenai pembatasan itu melalui Surat Kepala BKN Nomor K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian Dan Pelaksana Tugas Dalam Aspek Kepegawaian, tertanggal 5 Pebruari 2016. Surat ini sengaja dikeluarkan untuk memberikan kejelasan terhadap UUAP.
Salah satu kausal yang sangat penting dikemukakan adalah pembatasan wewenang disebutkan, demikian: “badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandate tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hokum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran”.
Selanjutnya adalah: apakah yang dimaksud dengan keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis itu? Jawabannya dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 14 ayat (7) UUAP, yaitu: keputusan dan/atau tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sedangkan maksud perubahan status hukum kepegawaian adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
BKN selanjutnya membuat poin-poin pembatasan bagi Plt dan Plh. Pertama, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek kepegawaian; kedua, tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam aspek kepegawaian yang meliputi pengakatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.
Kewenangan Plt dan Plh adalah: pertama, menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja; kedua, menetapkan kenaikan gaji berkala; ketiga, menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara; keempat, menetapkan surat penugasan pegawai; kelima, menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan keenam, memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
Poin penting yang menjadi perhatian adalah bahwa SK kepala BKN tersebut adalah tentang pelantikan. Ditegaskan bahwa Plt atau Plh yang ditetapkan tidak perlu dilantik atau diambil sumpahnya. Pengangkatan Plt atau Plh cukup dengan Surat Perintah dari pejabat pemerintah yang memberikan mandat.
PERATURAN TEKNIS DAN PRAKTEK
Setelah UUAP lahir, bukan hanya BKN yang mengatur Plt atau Plh diangkat. Setidaknya terdapat 2 (dua) kementerian yang mengatur tentang Plt atau Plh, yaitu: Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM. Kementerian Keuangan mengatur tentang Plt atau Plh dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.01/2015 tentang Tata Cara Penunjukan atau Pengangkatan Pelaksana Tugas dan Penunjukan Pelaksana Harian di Lingkungan Kementerian Keuangan. Demikian pula Kementerian Hukum dan HAM mengatur tentang Plt atau Plh dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 01 Tahun 2014 tentang Penunjukan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas di Lingkungan Kementerian Hukum Dan HAM.
Dalam praktiknya, pengangkatan Plt atau Plh, seringkali bermasalah, sehingga di beberapa tempat digugat di pengadilan. Demikian juga mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Plt atau Plh, sering sekali disalahgunakan, sehingga prosesnya mendapat gugatan di pengadilan, Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pejabat yang memiliki mandate untuk mengangkat Plt atau Plh, sehingga dampat negatifnya bagi efektifitas pemerintahan dapat dihindari.
Sumber: HukumOnline.com (Kamis,31 Maret 2016