Wednesday 14 November 2018
kary marunduh
4652
BAHODOPI: The Space of Clash
(Bagian I: Pertarungan Etnisitas)
by: Kary Marunduh
"Bahodopi bukanlah daerah yang 5 (lima) atau 10 (sepuluh) tahun lalu, Bahodopi yang sekarang adalah daerah kawasan industri nasional, yang bukan saja milik Kabupaten Morowali tetapi sudah menjadi milik Indonesia. Menjadi kawasan industri, berimplikasi pada mobilitas penduduk (urbanisasi) merupakan suatu keniscayaan", demikan salah satu pernyataan Bupati Morowali Drs. Taslim dalam jumpa pers, Senin, 29/10/2018.
PP 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035, menetapkan Kawasan Industri (KI) Morowali masuk dalam Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI 5), yaitu: Kendari, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka, dan Morowali. KI Morowali merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang direncanakan sekitar 2.000 Ha di Kecamatan Bahodopi, sehingga mendapat perhatian khusus dalam pengembangan kawasan.
Mencermati realitas di atas, maka dapat dikatakan secara sederhana bahwa Bahodopi sekarang adalah arena pertarungan (the space of clash). Sebagai sebuah arena pertarungan, Bahodopi sebagai sebuah kawasan dan Bahodopi sebagai sebuah komunitas masyarakat haruslah benar-benar dipersiapkan. Hal ini harus segera dilakukan untuk memastikan stabilitas sosial di KI Morowali, secara khusus di Bahodopi dapat terwujud dengan baik.
Arena pertarungan yang terjadi sekarang ini di KI Morowali, secara khusus di Bahodopi dapat ditelaah dalam beberapa unsur, diantaranya: etnisitas, kontestasi kekuasaan, dan perebutan sumber-sumber ekonomi.
Pertarungan Etnisitas.
Distingsi etnisitas sebagai sebuah realitas sosial dan politik akan selalu dijadikan instrumen penting dalam sebuah perubahan kawasan. Mobilitas penduduk (urbanisasi) sebagai sebuah keniscayaan dari perubahan KI Morowali (Bahodopi) mengakibatkan semakin majemuknya masyarakat. Melalui ethnic politics, maka instrumen perbedaan etnisitas akan terus "dimainkan" di banyak pola interaksi sosial. Oleh karen itu, tidaklah mengherankan jika dalam beberapa persoalan dasar yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan akan selalu dikaitkan dengan permasalahan etnisitas.
Secara teoritis, sulit sekali menciptakan keharmonisan dalam masyarakat majemuk, khususnya di tingkat lokal. Rabushka dan Shepsle (1972) telah mengingatkan bahwa kesulitan tersebut dapat terjadi karena adanya karakter kesukuan dalam masyarakat majemuk. Dalam masyarakat majemuk yang mengandalkan karakter kesukuan menurut Rabushka dan Shepsle kompetisi (pertarungan) secara mendasar ditandai dengan politik kesukuan (ethnic politics).
Bahkan Rabushka dan Shelpsle secara tegas mengatakan bahwa di dalam masyarakat majemuk, etnisitas sangat mewarnai di setiap konflik. Hal ini dikarenakan, dalam masyarakat yang majemuk, komunitas etnik akan cenderung mengorganisasikan dirinya berdasarkan persamaan etnisitas. Ditambah lagi, komunitas etnik pada umumnya memiliki basis teritorial dan homoginitas yang membuat pentingnya etnisitas sebagai strategi komunal bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Bahodopi sebagai sebuah arena KI, maka Bahodopi akan dijadikan ajang untuk merebut, mempertahankan, dan melanggengkan penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi baru. Arena pertarungan ini akan diisi oleh 3 (tiga) aktor, yaitu: politisi, pengusaha, maupun birokrat. Jika ditelusuri lebih jauh, maka dengan mudah akan ditemukan korelasi (benang merah) antara konflik yang terjadi dalam KI di Bahodopi dengan ketiga aktor tersebut. Hal ini sangat jelas karena perebutan terhadap sumber daya dalam KI selalu bersentuhan langsung dengan ketiga aktor itu.
Belajar dari kasus bentrok warga di Bahodopi (27-28 Oktober 2018), stakeholders harus segera menganalisa akar masalah sesungguhnya, sehingga dapat diambil langkah penyelesaian yang tepat. Pertanyaan besarnya adalah: benarkah bentrok warga di Bahodopi disebabkan karena perbedaan etnisitas? Dalam banyak kasus, ternyata etnisitas bukanlah merupakan entry ticket buat terjadinya konflik.
Melalui pendekatan divided perspektive, etnisitas diletakan pada posisi berdasarkan etno-geografis atau etno-teritorial. Seiring dengan perkembangan wilayah Bahodopi, maka tidak dapat disangkal terdapat areal pemukiman baru yang ditempati secara dominan oleh etnis tertentu. Hal ini disebabkan membludaknya masyarakat dari luar Bahodopi yang ingin bekerja dalam KI yang tidak terdata atau terkontrol dengan baik. Dengan demikian, kesembrautan masyarakat menyebabkan perebutan teritorial terjadi. Hal ini menyebabkan masyarakat lokal merasa terpinggirkan, baik secara teritorial maupun secara kuantitatif, sehingga menyebabkan ketidakpuasan.
Kebiasaan untuk mendirikan kawasan dengan penamaan berdasarkan etnisitas mengakibatkan pembauran budaya itu tidak dengan mudah terjadi. Hal ini diperkuat dengan adanya mobilisasi etnisitas tertentu dalam KI Bahodopi yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Mobilisasi etnis tertentu ini seringkali diikuti dengan manipulasi etnisitas yang justru semakin membelah masyarakat. Dan biasanya, pembelahan masyarakat ini tidak saja berdasarkan etnis, tetapi akan menjurus pada perbedaan agama. Jika ini terjadi, maka dapat dipastikan "orang ketiga" akan tampil memanfaatkan situasi.
Akhirnya, kepada semua pihak stakeholders, haruslah memahami bahwa yang harus diwujudkan di Bahodopi adalah equilibrium of ethnicity bukan domination of ethnicity. Realitas dari sebuah perkembangan wilayah, khususnya KI adalah ketimpangan relasi. Untuk dapat mengatasi ketimpangan relasi ini dapat diwujudkan dengan pembagian peran-peran berdasarkan keadilan relasi antaretnik. Jangan sampai dilupakan bahwa formasi utama dalam masyarakat majemuk dapat dimainkan dalam 2 (dua) cara, yaitu: struktur etnisitas yang dibangun berdasarkan keseimbangan etnisitas; dan struktur etnisitas yang dibangun dari proses manipulasi dan kreasi. semoga!!!!