Thursday 11 July 2019
kary marunduh
1406
CITRA BANALITAS DI RUANG PUBLIK: Pemujaan Semu
By: Kary Marunduh
Melalui percakapan dengan seorang sahabat lama di Warkop, membuat ingatan saya kembali pada kesadaran dasar sebagai mahluk yang akhirnya harus membalik pola pikir yang selama ini ada. Kesadaran bahwa ada yang salah – walaupun sulit mencari jawaban pasti, telah terjadi perubahan realitas akibat dari manipulasi informatif yang tanpa disadari telah berhasil menggiring opini pubik.
Citra telah menjadi penentu dan pengendali dari berbagai bentuk hubungan di antara kelompok-kelompok sosial. Citra berhasil menjelmakan ruang publik, sehingga mampu merubah realitas normatif dari informasi yang ada. Banalitas juga dimaknai sebagai dunia yang dangkal dan penuh kemubaziran. Dunia yang di dalamnya setiap nilai atau fragmen nilai-nilai bersinar seketika di dalam surga simulasi, untuk kemudian lenyap tak berbekas ke dalam kehampaan di sepanjang garis edarnya (Lihat YAP, 1987). Melalui citra banalitas, membuat segala sesuatunya bersifat remeh, tidak esensial, sehingga mengambil alih segala yang penting dan bermakna. Citra banalitas adalah prosesi pembalikan kultur (cultural reversal), yaitu proses pengesensialan yang banal dan banalisasi yang esensial. Media kerap terjebak sebagai ruang banalitas yang tidak mampu menahan diri untuk tidak mengekspose yang banal. Kepungan tanda dan citra yang remeh (banal) menyebabkan masyarakat kehilangan kemampuan untuk menginternalisasi makna yang dihasilkannya.
Banalitas informasi terasa kontradiktif dengan apa yang diandaikan Jurgen Habermas akan terbangunnya masyarakat komunikatif dimana media menjadi ruang publik yang mentransaksikan kebenaran informasi (well information). Ruang publik yang dibanjiri kesemuan informasi mereduksi spasi kepublikan yang berakibat pada minimalisme ruang publik. Setidaknya ada empat ekses dari minimalisme ruang public (YAP; 2004): pertama, pendangkalan ruang publik (the shalowness of public sphere). Pendangkalan terjadi saat ruang publik hanya menghasilkan wacana dan makna yang dangkal (surface) yang cenderung menghasilkan “budaya politik populer, sebuah budaya dalam ruang publik dimana yang dominan dipuja dan diutamakan atas dasar pada popularitas yang minim pada sensibilitas kemanusiaan.
Pemujaan terhadap popularitas menyebabkan ruang publik akan kehilangan daya kritis terhadap wacana dan makna. Kontestasi politik akan selalu berada pada pendangkalan ide, gagasan dan isu politik. Hal ini menyebabkan pemujaan terhadap aktor politik berada dalam situasi krisis karena massa kehilangan daya kritik yang seharusnya fokus pada wacana dan makna. Akhirnya, pemujaan terhadap aktor politik akan selalu diwujudkan dalam bentuk eksploitasi entnisitas. Aktor politik akan dipaksa berada dalam ruang etnisitas yang justru dapat menggerus nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Kedua, Komodifikasi ruang publik (the commodification of Public Sphere). Komodifikasi ruang publik terjadi ketika ruang publik menjadi komoditi dalam mekanisme ekonomi kapitalistik. Proses komodifikasi berlangsung dalam sirkuit kapitalisme yang menenggelamkan masyarakat (publik) dalam gairah konsumerisme dan hedonisme. Komodifikasi dalam media terjadi saat rezim kapitalisme mamasung otoritas media sehingga segenap produk yang dihasilkan media semata-semata menghamba kepentingan ekonomi.
Pemujaan kepada mekanisme ekonomi kapitalistik menegaskan kembali maraknya politik uang dalam setiap kontestasi politik. Pemujaan massa terhadap kekuatan ekonomi kapitalistik menyebabkan penekanan jual beli suara. Aktor politik akan mendulang suara walaupun aktor politik mengumandangkan lagu tanpa rekam jejak seperti seorang biduan yang handal. Kekuatan uang mendelegitimasi kualitas aktor, sehingga kontestasi kekuasaan akan selalu dimenangkan oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk belanja suara.
Ketiga, banalitas ruang publik (the banality of public sphere). Ruang publik akan selalu menghadirkan masyarakat yang selalu meremehkan wacana, ide, gagasan, isu politik. Pragmatisme terhadap hal tersebut tidak dapat dihindari karena masyarakat justru secara sengaja diarahkan pada pendangkalan pola pikir. Pembelengguan pola pikir ini merupakan kesengajaan kolektif yang dipelihara, karena dengan cara ini aktor politik menjadi nyaman di singgasana kekuasaan. Peremehan dilakukan untuk meninabobokan massa dalam nostalgia aktor politik yang semu.
Keempat, Virtualitas ruang publik (the virtuality of public sphere). Dominasi citra virtual (virtual reality) di media menggeser dan mensubstitusi realitas asli (natural reality). Dalam relasi sosial politik, virtual reality yang dirproduksi teknologi pencitraan menjadi parade citra yang penuh kepalsuan dan kesemuan. Publik dipaksa melakukan eksodus massal menuju lubang hitam kebudayaan yang menyedot mereka ke dalam histeria pencitraan yang simulatif.
Histeria pencitraan akan selalu direproduksi dan akan tumbuh subur dalam ruang publik yang kehilangan daya yang dengan sengaja dan/atau tidak sengaja. Pemaksaan kepada massa terhadap realitas sesungguhnya dilakukan dengan menggeser realitas asli ke realitas semu yang dengan sadar dan/atau tidak sadar mendominasi relasi sosial politik.
Mencermati keempat hal di atas, ruang publik dikungkung sebagai upaya minimalisasi ruang publik. Ketika massa telah dikerangkang oleh manipulasi, simulakra realitas, pendangkalan, banalitas, dan komodifikasi, sehingga produk akhirnya adalah kematian ruang publik.
Ruang publik akhirnya menjadi semu dalam pemujaan terhadap aktor politik. Ruang publik tidak lagi ramah dalam arena pembentukan public civility melainkan menjadi sekedar ranah transaksional unsur-unsur ekonomi. Pembentukan citizenship akhirnya ditentukan oleh transaksi politik yang menonjolkan jual beli kuasa. Nilai massa akhirnya dijadikan setingkat dengan jajanan yang dihargai dengan komersialisme untung dan rugi. (IKP/k4r7)